Sahabat yang memeluk
Islam dari sejak dini ini masuk Islam bersama ayah dan ibunya (Yasir dan
Sumaiyah) yang akibatnya mereka sama-sama menderita berbagai cobaan
dari suku mereka yaitu Mahzum. Ayahnya sempat meninggal dalam cobaan
tersebut, sedangkan ibunya ditikam oleh Abu Jahal sehingga menemui
ajalnya. Beliau pergi emigran ke Abessinia, sekembalinya dari Abessinia
dia ikut hijrah ke Madinah.
Dalam
perang Badar dan Khandak beliau ini menderita luka parah.Beliau ikut
perang Shiffin di belakang Ali bin Abu Thalib dan meninggal dalam perang
tersebut.
Yasir
bin ‘Amir, ayahanda ‘Ammar, berangkat meninggalkan negerinya di Yaman
guna mencari dan menemui salah seorang saudaranya… Rupanya ia berkenan
dan cocok tinggal di Mekah. Bermukimlah ia disana dan mengikat
perjanjian persahabatan dengan Abu Hudzaifah Ibnul Mughirah. Abu
Hudzaifah mengawinkan dengan salah seorang sahayanya bernama Sumayah
binti Khayyath, dan dari perkawinan yang penuh berkah ini, dikarunia
seorang putra bernama ‘Ammar.
Keislaman
mereka termasuk dalam golongan yang pertama, sebagaimana halnya dengan
mereka yang pertama masuk Islam. Mereka cukup menderita dengan sikap
kebiadaban dan kekejaman kaum Quraisy… Orang-orang Quraisy menjalankan
siasat terhadap kaum muslimin sesuai suasana: seandainya mereka ini
golongan bangaan dan berpengaruh, mereka hadapi dengan ancaman dan
gertakan. Abu Jahal, misalnya, menggertak dengan ungkapan, “Kamu berani
meninggalkan agama nenek moyangmu padahal mereka lebih baik daripadamu!
Akan kami uji sampai dimana ketabahanmu; akan kami jatuhkan
kehormatanmu; akan kami rusak perniagaanmu; dan akan kami musnahkan
harta bendamu!” Setelah itu, mereka lancarkan kepadanya perang urat
syaraf yang amat sengit. Sementara, sekiranya yang beriman itu dari
kalangan penduduk Mekah yang rendah martabatnya dan yang miskin; atau
dari golongan budak belian, mereka didera dan disulutnya dengan api
bernyala.
Keluarga Yasir telah ditakdirkan oleh Allah termasuk
dalam golongan yang kedua ini. Maka, masuklah keluarga Yasir ke dalam
kelompok yang mendapat perlakuan yang zalim dari mereka. Setiap hari,
Yasir, Sumayyah, dan ‘Ammar dibawa ke padang pasir Mekah yang demikian
panas, lalu didera dengan berbagai adzab dan siksa.
Dengan
cobaan itu, Sumayyah telah menunjukan kepada manusia sikap ketabahan,
suatu kemuliaan yang tak pernah hapus dan kehormatan yang pamornya tak
pernah luntur; suatu sikap yang telah menjadikannya seorang bunda
kandung bagi orang-orang mu’min disetiap zaman, dan bagi para budiman
sepanjang masa.
Pengorbanan-pengorbanan
mulia yang dahsyat itu tak ubahnya sebagai tumbal yang akan menjamin
bagi agama dan ‘aqidah yang teguh dan tak akan lapuk. Ia juga menjadi
teladan yang akan mengisi hati orang-orang beriman dengan rasa simpati,
kebanggan dan kasih sayang; ia adalah menara yang akan menjadi pedoman
bagi generasi-generasi mendatang untuk mencapai hakikat agama, kebenaran
dan kebesarannya…
Untuk
meletakkan dasar, memancangkan tiang-tiang, dan memperkokoh agama-Nya,
Allah memperlihatkan model contoh melalui para pemuka dan tokoh-tokoh
utamanya dengan sikap pengorbanan harta dan jiwanya agar menjadi teladan
istimewa bagi orang-orang beriman yang kemudian.
Sumayyah, Yassir, dan ‘Ammar adalah termasuk teladan istimewa, sampai-sampai Rasulullah setiap hari mennghampiri tempat dimana mereka mendapat siksaan dari orang-orang zalim.
Pada suatu hari, ketika Rasulullah mengunjungi
mereka, ‘Amar memanggilnya, katanya, “Wahai Rosulullah, adzab yang kami
derita telah sampai ke puncak.” Maka, seru Rasulullah , “Sabarlah,
wahai Abal Yaqdhan… Sabarlah, wahai keluarga Yasir…Tempat yang
dijanjikan bagi kalian adalah syurga!” Betapa beratnya siksaan yang
dialami ‘Ammar oleh kaum yang zalim, dilukiskan oleh kawan-kawannya
dalam beberapa riwayat: berkata ‘Ammar bin Hakam, “Ammar itu disiksa –
sampai-sampai ia tidak menyadari apa yang diucapkannya.” Berkata pula
‘Ammar bin Maimun, “Orang-orang musyrik membakar ‘Ammar bin Yasir dengan
api.” Maka Rasulullah lewat di tempatnya, lalu memegang
kepalanya dengan tangan beliau, sambil bersabda, “Hai api, jadikan kamu
sejuk dan dingin di tubuh ‘Ammar, sebagaimana kamu dulu juga sejuk dan
dingin di tubuh Ibrahim!”
Orang-orang
musrik menghabiskan segala daya dan upaya dalam melampiaskan kezaliman
dan kekejiannya terhadap ‘Ammar, sampai-sampai ia meresa dirinya
benar-benar celaka, ketika siksaan itu mencapai puncaknya: didera,
dicambuk, disalib di hamparan gurun yang panas, ditindih dengan batu
laksana bara merah, dibakar dengan besi panas, bahkan sampai
ditenggelamkan ke dalam air hingga sesak nafasnya dan mengelupas
kulitnya yang penuh dengan luka. Ketika ia sampai tidak sadarkan diri
karena siksaan yang demikian berat,orang-orang itu mengatakan kepadanya, “Pujalah olehmu Tuhan-Tuhan kami!”
Mereka ajarkan kepadanya pujaan itu, sementara ia mengikutinya tanpa
menyadari apa yang diucapkannya.
Ketika ia siuman sebentar karena siksaannya berhenti, tiba-tiba ia sadar
akan apa yang telah diucapkannya. Maka, hilanglah akalnya dan
terbayanglah diruang matanya, betapa besar kesalahan yang telah
dilakukannya, suatu dosa besar yang tak dapat ditebus dan diampuni
lagi…, Tetapi iradat Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi telah
memutuskan agar peristiwa yang mengharukan itu mencapai titik kesudahan
yang amat luhur…. Tangan yang penuh berkah itu terulur menjabat tangan
‘Ammar sambil menyampaikan selamat kepadanya, “Bangunlah hai pahlawan!
Tak ada sesalan atasmu dan tak ada cacat!”
Sungguh
benar apa yang telah difirmankan Allah , artinya, “Apakah manusia
mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman,”
padahal mereka belum lagi diuji?” (Q. S. Al-’Ankabut: 2)
“Apakah
kalian mengira akan dapat masuk Syurga, padahal belum lagi terbukti bagi
Allah orang-orang yang berjuang diantara kalian, begitupun orang-orang
yang tabah?” (Q. S. Ali Imran: 142)
“Sungguh,
kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, hingga terbuktilah bagi
Allah orang-orang yang benar dan terbukti pula orang-orang yang dusta.”
(Q. S. Al-’Ankabut: 3)
“Apakah
kalian mengira akan dibiarkan begitu saja, padahal belum lagi terbukti
bagi Allah orang-orang yang berjaung diantara kalia?” (Q. S. At-Taubah:
16)
“Dan
musibah yang telah menimpa kalian disaat berhadapannya dua pasukan,
adalah dengan adzin Allah, yakni agar terbukti baginya orang-orang yang
beriman.” (Q. S. Ali Imran:166)
‘Ammar
menghadapi cobaan dan siksaan itu dengan ketabahn luar biasa, hingga
pendera-penderanya merasa lelah, lemah, dan bertekuk lutut di hadapan
tembok keimanan yang maha kokoh. Memang, demikianlah Al-Qur’an mendidik
para pemeluknya: menghadapi kekejaman dan kekerasan dengan kesabaran,
keteguhan dan pantang menyerah, yang merupakan esensi dari keimanan.
Suatu ketika, Rasulullah menjumpai
‘Ammar; didapatinya ia sedang menangis, maka disapulah isak tangis itu
dengan tangan beliau seraya sabdanya, “Orang-orang kafir itu telah
menyiksamu dan menenggelamkanmu kedalam air sampai kamu mengucapkan
begini dan begitu…?”
“Benar,”
wahai Rasulullah,” ujar ‘Ammar sambil meratap. Maka sabda Rasullah
sambil tersenyum, “Jika mereka memaksamu lagi, tidak apa, ucapkanlah
seperti apa yang kamu katakan tadi!”
Kemudian,
Rasulullah membacakan kepadanya sebuah ayat: “Kecuali orang yang
dipaksa, sedang hatinya tetap teguh dalam keimanan.” (Q.S. An-nahl: 106)
Setelah mendengarnya, kembalilah ‘Ammar dengan hati yang diliputi rasa
haru, tenang, dan bahagia: seolah telah hilang semua penderitaan yang
selama ini ia rasakan.
‘Amar menduduki martabat yang tinggi di tengah-tengah masyarakat Islam yang beriman; Rasulullah amat
sayang kepadanya; beliau sering membanggakannya kepada para sahabat
lainnya, katanya, “Diri ‘Ammar dipenuhi keimanan sampai ke tulang
pungungnya!”
Ketika terjadi selisih faham antara Khalid bin Walid dengan ‘Ammar, Rasullah bersabda:
“Siapa yang memusuhi ‘Ammar, maka ia akan dimusuhi Allah; dan siapa yang
membenci ‘Ammar, maka ia akan dibenci Allah!” Maka, tak ada pilihan
bagi Khalid bin Walid, pahlawan Islam itu, selain segera mendatangi
‘Ammar untuk mengakui kekhilafannya dan meminta maaf.
Mengenai
perawakan ‘Ammar, para ahli riwayat melukiskannya sebagai berikut: Ia
adalah seorang yang bertubuh tinggi dengan bahunya yang bidang dan
matanya yang biru; seorang yang amat pendiam: tidak suka banyak bicara.
Sepak terjangnya di dalam medan pertempuran, ‘Ammar termasuk pejuang
militan yang tangguh. Ia senantiasa ikut bergabung bersama Rasulullah
dalam semua perjuangan bersenjata seperti: perang Badar, Uhud, Khandak,
dan Tabuk.
Bahkan,
tatkala Rasulullah telah mendahuluinya ke Ar-Rafiqul A’la, ia tidaklah
berhenti, tetapi melanjutkan perjuangannya secara terus menerus. Saat
pasukan kaum muslimin berhadap-hadapan dengan kaum Persi dan Romawi,
termasuk kaum murtad, ‘Ammar – sebagai seorang prajurit yang gagah
perkasa – selalu berada dibarisan pertama.
Pada masa
khalifah Umar, ‘Ammar bin Yasir, tokoh yang sangat perkasa dan kokoh
imannya, juga dipilih untuk menjadi wali negeri di Kuffah; Ibnu Mas’ud
sebagai bendaharanya. Kepada penduduknya, Ummar menulis sepucuk surat
berita gembira dengan diangkatnya wali negeri baru itu, katanya:
“Saya kirim kepada tuan-tuan ‘Ammar bin Yasir sebagai Amir, dan Ibnu
Mas’ud sebagai bendahara dan wazir… Keduanya adalah orang-orang pilihan,
dari golongan sahabat Muhammad , dan termasuk pahlawan-pahlawan Badar!”
Dalam
melaksankan pemerintahan, ‘Ammar melakukan suatu sistem yang tidak dapat
diikuti oleh orang-orang yang rakus akan dunia. Pangkat dan jabatannya
tidak menambah kecuali keshalihan, zuhud dan kerendahan hatinya. Salah
seorang yang hidup pada masanya di Kufah, Ibnu Abil Hudzail, bercerita,
“Saya melihat ‘Ammar bin Yasir sewaktu menjadi amir di Kufah membeli
sayuran di pasar, lalu mengikatnya dengan tali dan memikulnya di atas
punggung dan membawanya pulang.”
Suatu
ketika, salah seorang awam berkata (menghina) kepada ‘Ammar bin Yasir,
“Hai, yang telinganya terpotong!” Mendengar omongan orang itu, sang amir
yang tidak kelihatan keamirannya, berkata, “Yang kamu cela itu adalah
telingaku yang terbaik karena ia ditimpa kecelakaan waktu perang
fisabilillah.” Memang, telinga ‘Ammar itu putus dalam perang sabil di
Yamamah. Ketika itu, Ammar bin Yasir maju bagaikan angin topan dan
menyerbu barisan tentara Musailamatul Kadzab sehingga melumpuhkan
kekuatan musuh. Ketika gerakan pasukan muslimin mengendor, pasukan
kafirin segera membangkitkan semangatnya dengan seruannya yang gemuruh,
hingga mereka kembali maju menerjang bagaikan anak panah yang lepas dari
busurnya.
Abdullah
bin Umar menceritakan peristiwa itu sebagai berikut: “Waktu perang
Yamamah, saya melihat ‘Ammar sedang berada disebuah batu karang. Ia
berdiri sambil berseru, “Hai kaum muslimin, apakah tuan-tuan hendak lari
dari Syurga…? Inilah, saya: ‘Ammar bin Yasir, kemarilah tuan-tuan…!
Ketika saya melihat dan memperhatikannya, kiranya sebelah telinganya
telah putus beruntai-untai, sedang ia berperang dengan amat sengitnya.”
Sementara
itu, musuh-musuh Islam bergerak dibawah tanah: berusaha menebus
kekalahannya dimedan tempur dengan jalan meyebarkan fitnah. Terbunuhnya
Umar merupakan hasil pertama yang dicapai oleh gerakan atau subversi
ini. Berhasilnya usaha mereka terhadap Umar, membangkitkan minat dan
semangat mereka untuk melanjutkannya, mereka sebarkan fitnah dan
nyalakan apinya disebagian besar negeri-negeri Islam. Gerakan ini
menjalar ke Madinah. Apa yang terjadi pada Umar r.a., terjadi pula pada
diri Utsman r.a. Peristiwa itu menyebabkan syahidnya Utsman r.a. dan
terbukanya pintu fitnah yang melanda kaum muslimin. Sepeninggal Utsman,
kekalifahan dipegang oleh Ali r.a. Mu’awiyah bangkit hendak merebut
jabatan khalifah dari tangan Ali. Para sahabat, disamping berpihak
kepada Ali, ada juga yang membela Mu’wiyah.
Tahukah
anda, di pihak mana, ‘Ammar berdiri waktu itu? Ia berdiri di samping Ali
bin Abi Thalib: bukan karena fanatik tetapi karena tunduk kepada
kebenaran dan teguh memegang janji – Ali adalah Khalifah kaum muslimin.
Dengan cahaya pandangan ruhani dan ketulusannya, ‘Ammar dapat mengetahui
pemilik hak satu-satunya dalam perselisihan ini. Menurut keyakinannya:
tak seorang pun berhak atas hal ini, selain imam Ali. Oleh karena itu,
ia berdiri disampingnya. Ali r.a. merasa gembira atas sokongan yang
diberikan oleh ‘Ammar. Keyakinan Ali r.a. bahwa ia berada pada pihak
yang benar kian bertambah karena dukungan sahabatnya itu.
Kemudian,
datanglah saat perang Shiffin yang mengerikan itu. Imam Ali menghadapi
pekerjaan penting ini sebagai tugas memadamkan pembangkangan dan
pemberontakan. Sementara, ‘Ammar ikut bersamanya. Waktu itu, usianya
telah mencapai 93 tahun. Ia bangkit menghunus pedangnya demi membela
kebenaran yang menurut keimanannya harus dipertahankan.
Pandangan terhadap pertempuran ini telah lama di maklumkannya dalam kata-kata sebagai berikut:
“Hai ummat manusia! Marilah kita berangakat menuju gerombolan yang
mengaku-ngaku hendak menuntutkan bela Utsman! Demi Allah, maksud mereka
bukanlah hendak menuntutkan bahaya itu, tetapi sebenarnya mereka telah
merasakan manisnya dunia dan telah ketagihan terhadapnya, dan mereka
mengetahui bahwa kebanaran itu menjadi penghalang bagi pelampiasan nafsu
serakah mereka. Mereka bukan yang berlomba dan tidak termasuk barisan
pendahulu pemeluk agama Islam. Argumentasi apa sehingga mereka merasa
berhak untuk ditaati oleh kaum muslimin dan diangkat sebagai pemimpin,
dan tidak pula dijumpai dalam hati mereka perasaan takut kepada Allah,
yang akan mendorong mereka mengikuti kebenaran…! Mereka telah menipu
orang banyak dengan mengakui hendak menuntutkan bela kematian Utsman,
padahal tujuan mereka yang sesungguhnya ialah hendak menjadi raja dan
penguasa adikara!”
Kemudian
diambilnya bendera dengan tangannya, lalu dikibarkannya tinggi-tinggi
diatas kepala sambil berseru, “Demi Dzat yang menguasai jiwaku, saya
telah bertempur dengan mengibarkan bendera ini bersama Rasulullah , dan
inilah aku siap berperang pula dengan mengibarkannya sekarang ini! Demi
nyawa saya berada dalam tangan-Nya, seandainya merekamenggempur dan
menyerbu hingga berhasil mencapai kubu pertahanan kita, saya tahu bahwa
kita pasti berada di pihak yang haq, dan mereka di pihak yang bathil”
Orang-orang
mengikuti ‘Ammar, mereka percaya kebenaran ucapannya. Berkatalah Abu
Abdirrahman Sullami, “Kami ikut serta dengan Ali r.a. dipertempuran
Shiffin, maka saya melihat ‘Ammar bin Yasir r.a. setiap ia menyerbu ke
sesuatu jurusan atau turun ke suatu lembah, para sahabat Rasulullah pun
mengikutinya, tak ubahnya ia bagai penji-panji bagi mereka” ‘Ammar
teringat akan sabda Rasulnya, “Ammar akan di bunuh oleh golongan
pendurhaka,” sehingga ia merasa peristiwa ini akan mengantarkannya
menjadi syahid. Ia menerjuni akhir perjuangan hidupnya yang menonjol
dengan gagah berani. Sebelum ia berangkat ke Rafiqul A’la, ia tanamkan
pendidikan terakhir tentang keteguhan hati membela kebenaran.
Berita tewasnya ‘Ammar segera tersebar, dan sabda Rasulullah yang
didengar oleh semua sahabatnya, sewaktu mereka sedang membina masjid di
Madinah dimasa yang telah jauh sebelumnya, berpindah dari mulut ke
mulut. Maka, sekarang jelaslah, siapa kiranya golongan pendurhaka itu,
tidak lain adalah golongan yang membunuh ‘Ammar: yaitu dari pihak
Mu’awiyah.
Dengan
kenyataan ini semangat dan kepercayaan pengikut-pengikut Ali kian
bertambah. Sementara di pihak Mu’awiyah, keraguan mulai menyusup kedalam
hati mereka, bahkan sebagian telah bersedia hendak memisahkan diri dan
begabung dengan Ali.
Setelah
pemakaman ‘Ammar, beberapa saat kemudian kaum muslimin berdiri
kerheran-heranan dikuburnya…! ‘Ammar berdendang di depan mereka di atas
arena perjuangan, hatinya penuh dengan kemgembiraan, tak ubahnya bagi
seorang perantau yang merindukan kampung halaman, tiba-tiba dibawa
pulang, dan terlontarlah seruan dari mulutnya: “Hari ini aku akan
berjumpa dengan para kekasih tercinta, dengan Nabi Muhammad dan para sahabatnya.”
Apakah ia
telah mengetahui hari yang mereka janjikan akan dijumpainya? Para
sahabat saling jumpa-menjumpai dan bertanya, “Apakah anda masih ingat
waktu sore hari itu di Madinah, ketika kita sedang duduk-duduk bersama
Rasulullah , dan wajahnya berseri-seri lalu bersabda, “Syurga telah
merindukan ‘Ammar.” “Benar,” ujar yang lain. “Dan waktu itu, juga
disebutnya nama-nama yang lain, diantaranya: ‘Ali, Salman dan Bilal…